Jalan Panjang Menuju Perdamaian di Palestina
Konflik Israel-Palestina menarik perhatian masyarakat dunia. Di Indonesia, konflik ini cenderung dipandang dari perspektif agama. Namun, dalam diskusi di UMRI, pembicara mengupas konflik yang terjadi selama bertahun-tahun itu dari perspektif kemanusiaan.
Menciptakan perdamaian di Palestina memang merupakan perjalanan panjang. Bahkan sudah terjadi antargenerasi dan berlangsung selama 75 tahun terakhir. Selama konflik, beberapa generasi Palestina ada yang sudah pindah ke negara lain. Namun, upaya untuk menjadikan Palestina sebagai negara berdaulat tetap dilakukan.
"Mungkin kita sekarang ikut mendukung namun baru anak cucu kita yang akan melihat berdirinya Palestina yang merdeka dengan Al Quds sebagai ibukotanya," tutur Duta Besar Republik Indonesia untuk Lebanon, Hajriyanto Y. Thohari dalam diskusi bersama civitas Universitas Muhammaduyah Riau (UMRI) via Zoom, Selasa (25/5/2021).
Dalam diskusi yang mengangkat topik Refleksi Kemanusiaan, Mimpi Damai di Bumi Palestina itu, mantan Wakil Ketua MPR RI ini juga menjelaskan bahwa ada sejumlah faktor yang membuat perdamaian di tanah Palestina sulit terjadi. Di antaranya sikap Amerika yang tidak adil.
Menurut dia, peran Amerika Serikat memang sangat besar di Timur Tengah, termasuk di kawasan yang diklaim oleh Palestina dan Israel. Salah satunya karena Amerika selalu membela dan memberi senjata untuk Israel.
Seiring dengan itu, sejumlah negara Arab juga menerima bantuan dari Amerika. Sejumlah negara Arab juga memiliki hubungan bisnis dengan Israel sesuai dengan kepentingan nasionalnya masing-masing.
Faktor lainnya yaitu, Amerika berkepentingan dalan pengamanan akses politik terhadap ketersediaan minyak. Sehingga Amerika mendapat kemudahan memperoleh minyak. "Karena minyak diperlukan untuk menghidupkan industri, kendaraan dan sebagainya," tutur Hajriyanto.
Kemudian Amerika selalu memberi proteksi dan eksistensi terhadap negara Israel. Amerika juga berkepentingan memberi proteksi terhadap pangkalan militernya di Timur Tengah. Selanjutnya, Amerika berkepentingan membendung terorisme dan radikalisme Islam.
Muncul pertanyaan, kenapa Israel selalu menjadi anak emas Amerika dan negara barat? Apakah Amerika yang mengontrol Yahudi atau sebaliknya Yahudi yang mengontrol Amerika? Itu semua bisa dijadikan penelitian menarik oleh mahasiswa di UMRI.
Hajriyanto juga menyorot dunia Arab yang terkesan tidak kompak. Ada negara Arab yang sudah berdamai dan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Bahkan, Turki yang presidennya banyak berpidato keras terkait konflik Palestina juga punya hubungan diplomatik pada Israel.
Hal ini berbeda dengan sikap Indonesia yang tetap menjaga tradisi politik menolak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Hajriyanto menyitir pernyataan Menteri Luar Negeri RI yang menurutnya sangat keras dalam menyikapi konflik Palestina-Israel.
Sikap politik Indonesia yang sudah berlangsung sejak pemerintahan Bung Karno itu menurutnya dihormati banyak pemimpin, ulama, ustaz dan masyarakat negara-negara Arab. Karena Indonesia konsisten tak membuka hubungan diplomatik sampai negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya berdiri.
Hajriyanto juga mengapresiasi tema yang diangkat oleh UMRI yang memandang permasalahan Palestina sebagai refleksi kemanusiaan. Meski sebenarnya masalah di tanah Syam ini juga bisa diangkat dengan refleksi politik, ekonomi, sejarah, agama dan lain-lain.
Menurut dia, jika dilihat dari kemanusiaan, dari hati nurani dan pengamalan Pancasila, maka mimpi perdamaian di Palestina menjadi suatu yang penting. Karena, sebagai manusia yang normal, tentu sangat cinta dengan perdamaian dan tidak ingin adanya konflik.
Di samping itu, permasalahan Palestina juga dialami tidak hanya kaum Muslim. Dijelaskan dia, bagi orang Arab, Yerusalem disebut dengan nama Al Quds. Sebutan itu berlaku baik oleh orang Arab muslim maupun yang Kristen. Orang-orang Arab, termasuk penganut Nasrani yang taat dan tinggal di Suriah atau Lebanon mengaku tak akan memijakkan kaki ke Al Quds selama masih dikuasai Israel.
Sikap ini, tambahnya, sering disuarakan seniman-seniman Arab. Baik yang beragama Islam maupun Kristen. Hal ini menggambarkan bahwa permasalahan Palestina bisa dipandang secara kemanusiaan.
Sementara itu, Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Fathurrahman Kamal selaku pembicara lainnya menekankan pentingnya umat Muslim mengedepankan semangat melakukan liberasi atau pembebasan. Kemudian, terdorong menghilangkan penzaliman terhadap rakyat Palestina. Lebih lanjut, ia menilai pentingnya semangat wujud nyata dukungan terhadap masyarakat Palestina.
Fathurrahman juga menyoroti sikap sejumlah aktivis dan dai. Dimana, diam-diam ada berbagai narasi yang dibangun oleh sejumlah aktivis dan dai tentang ketidakberpihakan pada perjuangan masyarakat Palestina.
"Ada beberapa aktivis dan dai yang menyebutkan bahwa hanya 2 persen masyarakat Palestina yang bertauhid. Bahkan ada yang menyebut kejelekan-kejelekan masyarakat Palestina," tuturnya.
Hal ini dianggap menjadi masalah di internal Islam sendiri. Karena itu, kader Muhammdiyah harus menunjukkan keberpihakan pada Palestina. Karena itu merupakan wujud jihad moral warga Muhammadiyah.
Sementara, Dzul Fikar Ahmad Tawalla yang juga Sekretaris Jendral PP Pemuda Muhammadiyah mengulas tentang sejarah keberadaan bangsa Yahudi berdasarkan Alquran. Termasuk bagaimana negara Israel bisa terbentuk yang memicu terjadinya konflik berkepanjangan hingga saat ini.
Sementara itu, Rektor UMRI, DR Mubarak M.Si dalam sambutannya mengatakan, pertemuan ini bukan sekadar rasa kemanusiaan dan rasa solidaritas sebagai manusia biasa. Tetapi ini wujud dari penerapan prinsip dan nilai dalam kehidupan bangsa dan bernegara yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
"Ini juga bukan perasaan soladaritas semata. Tetapi dalam mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 bahwa seluruh rakyat Indonesia dalam NKRI kita bertekad untuk tidak memperkenankan dan tidak mentolerir sikap-sikap perilaku penjajahan di dunia ini," tuturnya.
Kita semua, tambah Rektor, harus terlibat dalam perdamaian dunia.
Karena, agresi militer yang dilakukan Israel kepada Palestina sesungguhnya adalah nestapa bagi kemanusiaan. Kekejaman Israel yang menyerang perbatasan Palestina hingga mengorbankan ratusan korban jiwa sudah kelewat batas.
"Maka itu, tidak ada alasan bagi kita semua untuk tidak membantu dan tidak memiliki rasa solidaritas untuk saudara kita sesama muslim dan sesama manusia. Yang tengah ditindas dan dijajah oleh Zionis di Palestina," katanya. (*)
What's Your Reaction?