Belajar dari Optimisme Media Islam Majalah Suara Muhammadiyah
Digitalisasi yang juga merasuk ke industri media membuat pengelola media massa di dunia "putar otak". Terlebih, biaya yang harus dikeluarkan untuk media versi cetak seperti koran dan majalah kini semakin mahal. Belum lagi perubahan cara orang mengkonsumsi berita.
RIAUCERDAS.COM - Langkah koran Republika berhenti terbit dan fokus ke versi digital pada 31 Desember 2022 lalu menambah panjang daftar media di Indonesia yang shifting dari wajah lamanya.
Seperti yang diketahui bersama, digitalisasi yang juga merasuk ke industri media membuat pengelola media massa di dunia "putar otak". Terlebih, biaya yang harus dikeluarkan untuk media versi cetak seperti koran dan majalah kini semakin mahal. Belum lagi perubahan cara orang mengkonsumsi berita.
Survei Nielsen Consumer and Media View tahun 2017 pada 17 ribu responsen dari 11 kota menyatakan, pembaca media cetak seperti majalah, koran dan tabloid saat itu hanya 4,5 juta. Jumlah ini menurun drastis jika dibandingkan tahun 2013 yang jumlahnya ada di angka 9,5 juta. Itu angka 2017, apalagi di tahun 2023 ini.
Republika, salah satu representasi media Islam di Indonesia ini dikenal punya pengalaman yang panjang. Bahkan, bisa dikatakan ikut mewarnai jalannya negeri ini dalam 30 tahun terakhir. Tak heran, berhenti terbitnya koran Republika membuat sejumlah media Islam lainnya khawatir. Termasuk majalah Suara Muhammadiyah.
Kekhawatiran itu terucap langsung oleh Redaktur Eksekutif Majalah Suara Muhammadiyah, Isngadi Marwah Atmadja, SAg., MA saat kunjungan Lingkar Jurnalis Pendidikan (LJP) Provinsi Riau ke "markas" media yang tahun ini sudah berusia 108 tahun itu di awal bulan Februari 2023 lalu.
"Setelah Republika pamit dari dunia cetak, kami juga khawatir terkait kebertahanan media cetak Suara Muhammadiyah," ujar Isngadi memberi penjelasan.
Menurut dia, tantangan media cetak saat ini begitu nyata. Jelas memang kondisi yang serupa dirasakan oleh seluruh media cetak.
"Tetapi, setelah kita diskusikan ulang, media cetak hari ini masih memiliki harapan. Karena masih banyak orang-orang membutuhkan media cetak," tambahnya.
Pernyataan Isngadi ini tergambar pada judul utama Majalah Suara Muhammadiyah edisi 03 (1-15 Februari 2023) lalu. Alih-alih memakai kalimat "Senjakala Media Cetak", redaksi mereka justru memuat judul "Masa Depan Media Islam". Sikap yang sangat optimis menurut hemat kami.
Judul rublik Sajian Utamanya tak kalah optimis. Redaksi memuat judul "Senjakala Media Islam dan Jalan Keluarnya". Lewat pilihan judul ini, tergambar bahwa Majalah Suara Muhammadiyah masih punya semangat hidup yang luar biasa di tengah gempuran digitalisasi media yang massif.
Beralasan memang. Jika dirunut dari sejarahnya, kami beranggapan Majalah Suara Muhammadiyah bukanlah media lahir dengan semangat kapitalisme. Melainkan, Majalah yang lahir sejak tahun 1915 (jauh sebelum Republik Indonesia berdiri) ini didorong semangat menyebarkan nilai-nilai ajaran agama Islam.
Majalah Suara Muhammadiyah memang produk dari Persyarikatan Muhammadiyah. Majalah tersebut bahkan dirintis langsung oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang merupakan pendiri organisasi Muhammadiyah yang saat ini punya jutaan jiwa anggota.
Besarnya organisasi Muhammadiyah ini pula yang turut menyokong tetap hidupnya Majalah Suara Muhammadiyah. Karena, dengan basis kelompok yang jelas dan besar, Suara Muhammadiyah sebenarnya memiliki potensi pelanggan yang besar.
Potensi itu diakui Isngadi. Pelanggan majalah ini memang kalangan Muhammadiyah. Baik anggota maupun amal usaha-amal usaha yang tersebar di seantero negeri. Sebagai contoh, Universitas Muhammadiyah Riau yang menjadi salah satu amal usaha persyarikatan menurut Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi, Jayus, S.Sos,. MI.Kom berlangganan ratusan eksemplar Majalah Suara Muhammadiyah per edisi.
Selain mengadopsi teknologi dengan menerbitkan Suara Muhammadiyah versi digital, mereka juga memulai sektor bisnis di luar media untuk mendongkrak nilai ekonomi. Dimana, Suara Muhammadiyah saat ini juga mengelola bisnis ritel Logmart dan bisnis sektor pangan dan sembako BulogMu.
Di samping itu, Suara Muhammadiyah juga mengembangkan aset yang ada. Di antaranya mulai merambah bisnis perhotelan yang saat ini tengah tahap pembangunan di lahan di belakang kantor majalah tersebut.
Menariknya, semua lini bisnis baru ini ditujukan untuk menopang Majalah Suara Muhammadiyah. Jadi semangatnya adalah bagaimana majalah ini tetap menjadi pilar media dakwah yang berkesinambungan bagi umat Islam di seluruh tanah air.
Semangat ini pula yang perlu ditiru oleh pelaku bisnis media. Memang tidak semua media berwajah Islam yang punya basis massa terbesar di Indonesia. Namun, setidaknya, setiap media pasti ada nilai ideal yang ingin dipertahankan di samping tujuan bisnisnya.
Hal lain menurut Isngadi yang mendorong Suara Muhammadiyah tetap tegak berdiri di tengah konvergensi media adalah masih adanya orang yang menilai produk media cetak lebih kredibel dan objektif. Pasalnya, berita yang diterbitkan di media cetak masih melalui proses verifikasi berjenjang.
Waktu produksi yang cukup panjang membuat media cetak memiliki kesempatan ntuk menguji seluruh informasi yang diterima. Kemudian, diverifikasi keakuratannya sebelum disuguhkan ke pembaca.
Kondisi ini tentunya perlu disokong dengan upaya menjaga agar bahan baku seperti kertas dan tinta tetap terjangkau. (*)
What's Your Reaction?