Upaya Turunkan Stunting, BKKBN Riau Anggap Perlu Pendampingan Ibu Hamil dan Pasca Persalinan
Meski sudah turun, Mardalena menegaskan upaya BKKBN untuk terus menurunkan prevalensi stunting setiap tahun. Tahun ini, harapannya angka pravalensi stunting bisa menyentuh angka 14 persen.
RIAUCERDAS.COM - Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Riau menegaskan kembali upaya mencapai target penurunan kasus stunting tahun ini. Bahkan, prevalensi stunting di Riau diharap berada di bawah angka target nasional yaitu 14 persen.
“Pravelensi angka stunting di Provinsi Riau saat ini memang sudah mengalami penurunan. Yaitu sudah berada pada angka 17 persen,” ungkap Kepala Perwakilan BKKBN Riau, Mardalena Wati Yulia pada Kamis (7/3/2024).
Hal itu disampaikannya dalam acara kegiatan Penguatan dan Pencatatan Pelaporan Pendampingan Ibu Hamil dan Ibu Pasca Persalinan yang digelar mulai tanggal 6 hingga 8 Maret.
Meski sudah turun, Mardalena menegaskan upaya BKKBN untuk terus menurunkan prevalensi stunting setiap tahun. Tahun ini, harapannya angka pravalensi stunting bisa menyentuh angka 14 persen.
“Bahkan kalau bisa berada di bawah angka 14 persen yang merupakan target angka percepatan penurunan stunting tingkat nasional,” kata dia.
Guna mencapai harapan itu, Mardalena menegaskan pentingnya peran semua pihak. Terutama Tim Pendamping Keluarga (TPK). Mereka merupakan sekelompok tenaga yang dibentuk dan terdiri dari Bidan, Kader TP PKK dan Kader KB.
TPK itu berperan melaksanakan pendampingan meliputi penyuluhan, fasilitasi pelayanan rujukan dan fasilitasi penerimaan program bantuan sosial. Sasarannya adalah calon pengantin/calon pasangan usia subur, ibu hamil, ibu pasca persalinan, anak usia 0-59 bulan.
TPK juga berperan melakukan surveilans keluarga berisiko stunting untuk mendeteksi dini faktor-faktor risiko stunting. Karena itulah, Mardalena menganggap peran dan jasa TPK sangat besar. Khususnya dalam mempersiapkan kualitas generasi masa depan.
“Tugas TPK bukan hanya sangat mulia namun juga berat dalam mengentaskan generasi masa depan terhadap risiko stunting. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para TPK yang sudah berjibaku melakukan pendampingan, screening, penyuluhan, KIE dan fasilitasi kepada kelompok-kelompok sasaran yang berisiko stunting dengan honor yang sangat minimalis,” paparnya.
Mardalena juga menegaskan, kegiatan ini penting dilakukan agar TPK aktif mengumpulkan data dan melaporkan kegiatannya dalam mendampingi ibu hamil dan ibu pasca persalinan. Dengan laporan itu, maka langkah intervensi bisa dilakukan tepat sasaran.
Sementara itu, seorang Penyaji dari Bappedalitbang Provinsi Riau, Heriyanto memaparkan bahwa saat ini Riau sudah memiliki 10.674 TPK. Dia berharap, semua anggota TPK aktif meningkatkan akses informasi dan pelayanan melalui penyuluhan, memfasilitasi pelayanan rujukan, memfasilitasi penerimaan program bantuan sosial serta mendeteksi faktor risiko stunting.
Heriyanto juga yakin kegiatan ini efektif dalam melakukan pencegahan stunting. Karena potensi stunting itu bisa terjadi pada ibu hamil dan ibu pasca persalinan. “Untuk itu, langkah penanganan yang menyasar kelompok ibu hamil dan ibu pasca persalinan ini sangat perlu dilakukan,” tuturnya.
Berdasarkan data tahun 2022, baru Dumai, Bengkalis dan Pelalawan yang angka stuntingnya di bawah 14 persen. Namun, kondisi ini jangan membuat lengah. Karena, berkaca pada daerah lain, angka stunting masih bisa naik kembali. Heriyanto mencontohkan kasus di Pekanbaru tahun lalu.
Dalam paparannya, Heriyanto juga menyampaikan Review Hasil Audit Kasus Stunting oleh Tim Pakar tahun 2023 lalu. Dimana, tim masih menemukan beberapa masalah.
“Seperti ibu hamil banyak yang tidak memeriksakan perkembangan kehamilan, ibu hamil mengalami gangguan psikologis emosional karena permasalah ekonomi dan hubungan dengan keluarga dan lainnya,” katanya.
Sementara, Penyaji yang merupakan seorang Psikolog, Yunita menegaskan bahwa gangguan psikologi yang dihadapi ibu di masa persalinan berpengaruh pada kondisi anak. Karena, gelombang perasaan yang dialami oleh si ibu akan dirasakan langsung oleh bayinya.
Gangguan psikologis yang kerap dialami ibu itu di antaranya kecemasan, ketakutan, sikap pasif, hipermaskulinitas, hiperaktif dan halusinasi hipnagonik yang terjadi saat persalinan. Sayangnya, permasalahan psikologis ini terkadang dianggap biasa oleh masyarakat.
Dia mencontohkan, ketika si ibu sering menangis karena merasa dirinya tak bisa menjadi orangtua yang baik, masih ada pihak yang menganggap biasa. “Ya bisa disebut cengeng oleh keluarga. Padahal, itu salah satu gejala gangguan psikologis yang mestinya dipahami dan diatasi,” tutur dia.
Gangguan psikologis pada ibu hamil dan ibu pasca persalinan ini harus diatasi. Di antaranya dengan pemberian psikoedukasi dan pendampingan psikologis. Lalu, perlu ada program dukungan psikososial. Mencakup serangkaian intervensi untuk dukungan emosional, pendidikan, strategi penanggulangan bagi perempuan pasca persalinan.
Semua ini tentu membutuhkan peran berbagai pihak. Terutama TPK yang ada dan bersentuhan langsung dengan keluarga sasaran. Dia berharap, TPK bisa memahami dan segera melakukan intervensi pada ibu yang mengalami gejala gangguan psikologis. (*)
What's Your Reaction?