OPINI: Menelaah Wacana Pemakzulan Presiden Jokowi

Wacana pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden jangan dilihat dari kepentingan politis, tetapi dari sisi penyeimbang, kritis dan memberikan kritikan kepada pemerintah agar tidak memanfaatkan kewenangannya untuk kepentingan sekelompok orang atau oligarki dan merugikan publik.

Jan 19, 2024 - 23:18
 0
OPINI: Menelaah Wacana Pemakzulan Presiden Jokowi
Rian Sibarani S.H

Wacana pemakzulan terhadap Presiden joko Widodo (Jokowi) akhir-akhir ini kembali mencuat menjelang hari pemungutan suara yang akan diselenggarakan pada 14 Februari 2024 mendatang. Usul pemakzulan ini diinisasi oleh 100 tokoh dari berbagai kalangan baik dari akademisi, politisi dan tokoh masyarakat lainnya yang menamakan diri Gerakan Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat.

Inti dari Petisi 100 Tokoh tersebut adalah meminta DPR dan MPR untuk memakzulkan Presiden Jokowi. Persoalannya adalah, apakah Jokowi dapat dimakzulkan dari kursi Presiden atas usul dari Petisi 100 tersebut?

Pemakzulan adalah sebuah proses memberhentikan seseorang dari jabatannya sebelum berakhirnya masa jabatan tersebut karena sesuatu hal. Di Indonesia, pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur dalam konstitusi Indonesia yaitu dalam Pasal 7A Undang-undang Dasar (UUD) RI 1945. 

Dalam pasal 7A UUD 1945 tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan karena terbukti telah melakukan pelanggaran yang berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela maupun apabila Presiden dan/atau wakil Presiden terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Untuk selanjutnya proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur dalam Pasal 7B UUD 1945. Tahapan proses pemazulan tersebut pertama, DPR mengajukan usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 7A UUD 1945.

Dalam hal ini DPR terlebih dahulu harus membuat kajian atas pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk selanjutnya diajukan kepada MK dan pengajuan tersebut harus mendapat dukungan dari anggota DPR minimal 2/3 anggota yang hadir dalam sidang DPR dan harus dihadiri minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR RI.

Kedua, MK memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR tersebut paling lama 90 hari setelah permintaan DPR tersebut diterima. Ketiga, apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana dalam pasal 7A UUD 1945, maka DPR melakukan sidang paripurna guna meneruskan usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.  

Keempat, MPR harus melaksanakan sidang paripurna untuk memutus usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR paling lambat 30 hari setelah usulan tersebut diterima oleh MPR, sidang paripurna MPR harus dihadiri minimal 3/4 dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh minimal 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir dan sebelumnya Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diberi kesempatan memberikan penjelasan terhadap dakwaan tersebut di dalam sidang paripurna MPR tersebut. 

Kembali pada usulan Petisi 100 tokoh tersebut yang meminta agar DPR memakzulkan Presiden Jokowi karena dugaan melakukan beberapa pelanggaran. Hal tersebut tentunya sah-sah saja untuk dilakukan mengingat negara Indonesia adalah negara demokrasi yang harus mengakomodir pendapat rakyatnya. 

Akan tetapi, tentunya perlu dipastikan lagi apakah Petisi 100 tersebut dapat membuktikan Presiden Jokowi telah melakukan pelanggaran sebagaimana yang tertuang dalam pasal 7A UUD 1945?

Melihat alasan pemakzulan yang dikemukakan dalam Petisi 100 tokoh tersebut dikarenakan Presiden Jokowi telah melakukan pelanggaran konstitusional di antaranya adanya nepotisme dalam putusan MK mengenai batas usia Capres dan Cawapres yang akhirnya memuluskan pencalonan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto. 

Terhadap pelanggaran di tubuh MK, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sudah memutuskan dan menjatuhkan sanksi kepada Hakim Konstitusi yang memeriksa perkara tersebut. Salah satunya adalah memutuskan Ketua MK waktu itu, Anwar Usman telah melakukan pelanggaran etik berat dan diberhentikan sebagai ketua MK. 

Seperti diketahui bersama, Anwar Usman merupakan adik ipar Presiden Jokowi dan paman Gibran Rakabuming Raka. 

Selanjutnya adanya dugaan Presiden Jokowi tidak netral dalam perhelatan Capres-Cawapres yang diduga Presiden mendukung salah satu pasangan Capres-cawapres yang akan memperebutkan suara rakyat pada 14 Februari 2024 mendatang.

Persoalan selanjutnya adalah, apakah pelanggaran tersebut sudah memenuhi unsur yang terdapat dalam Pasal 7A UUD 1945? Tentunya hal tesebut kembali kepada DPR yang menerima usulan dari Petisi 100 tokoh tersebut, apakah akan membahas usulan tersebut dan meneruskan kepada MK atau membuang usulan tersebut ke dalam “tong sampah”.

Namun apabila usulan tersebut diterima, dibahas dan dikaji oleh DPR RI, maka akan terjadi lobi-lobi politik yang tentunya seperti yang dapat diketahui, di dalam DPR yang seyogyanya adalah lembaga pengawasan terhadap eksekutif saat ini tidak terlihat berjalannya proses penyeimbang antara legislatif dan eksekutif. 

Di dalam DPR sendiri terbentuk koalisi besar yang mendukung pemerintahan Jokowi atau dapat disebut koalisi gendut sehingga suara oposisi tenggelam. Hal ini dapat terlihat dari beberapa pengesahan UU secara kilat dan tidak melibatkan partisipasi publik, antara lain UU Cipta Kerja, UU IKN, UU MK dan lainnya.

Hal lain lagi, apabila usulan tersebut diterima oleh DPR dan diteruskan kepada MK, maka MK harus memeriksa usulan DPR tersebut, tentunya kembali lagi mengingat dalam perkara sebelumnya sudah terjadi pelanggaran etik di dalam MK, apakah MK berani memeriksa dan memutuskan apakah Presiden Jokowi terbukti telah melakukan pelanggaran?

Maka apabila terjadi lobi politik yang tidak sehat di dalam DPR ataupun MK, tentunya upaya pemakzulan tersebut adalah sia-sia, akan tetapi masyarakat harus cerdas dalam melihat polemik yang terjadi. 

Wacana pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden jangan dilihat dari kepentingan politis, tetapi dari sisi penyeimbang, kritis dan memberikan kritikan kepada pemerintah agar tidak memanfaatkan kewenangannya untuk kepentingan sekelompok orang atau oligarki dan merugikan publik. 

Penentuan pelanggaran yang dilakukan Presiden Jokowi tentu tidaklah mudah, dibutuhkan kajian mendalam. Apakah perbuatan Presiden Jokowi menciderai proses penegakan hukum? Apakah Presiden Jokowi menciderai proses demokrasi karena dianggap cawe-cawe kepada salah satu pasangan capres-cawapres ? 

Namun, apabila ternyata ada kompromi antara Presiden Jokowi dengan MK dan ketidaknetralan Jokowi dalam perhelatan Pemilu 2024 yang memicu terjadinya kecurangan dalam pemilu, apakah hal tersebut adalah sebuah perbuatan yang tercela?

Rian Sibarani, S.H

Pengacara/Advokat Pekanbaru

Disclaimer: Rublik Perspektif merupakan buah pikiran penulis yang dituangkan dalam tulisan opini. Riau Cerdas tidak bertanggung jawab atas isi opini penulis. 

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow