Puisi Jadi Jembatan Diplomasi Budaya Asia Tenggara di Program Mastera 2025
Program Mastera 2025 menghadirkan 22 penyair muda dari Indonesia, Brunei, dan Malaysia untuk memperkuat jejaring sastra Asia Tenggara. Dibuka oleh Kepala Badan Bahasa, Hafidz Muksin, kegiatan ini menekankan puisi sebagai ruang kebersamaan, diplomasi budaya, dan pembentukan generasi penulis baru. Sastrawan Sutardji Calzoum Bachri berpesan agar puisi dijadikan sarana memberi makna bagi sesama.

RIAUCERDAS.COM, JAKARTA - Puisi bukan sekadar karya sastra, melainkan juga jembatan diplomasi budaya. Hal itu tergambar dalam Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) 2025 yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) di Jakarta, 1–5 September 2025.
Sebanyak 22 penyair muda dari Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia berkumpul dalam forum ini. Mereka mengikuti diskusi, bedah karya, hingga pertukaran pengalaman kreatif bersama para maestro sastra kawasan.
Kepala Badan Bahasa, Hafidz Muksin, menegaskan pentingnya menjaga peran sastra di tengah arus zaman. “Bahasa tanpa sastra seperti mata uang tanpa nilai. Sastra memperhalus rasa, mewujudkan asa, dan meneguhkan makna,” ujarnya. Ia berharap Mastera melahirkan alumni unggul yang kelak membimbing generasi baru penulis puisi.
Program ini menghadirkan sejumlah pembimbing ternama, antara lain Nenden Lilis Aisyah, Cecep Syamsul Hari, Agus R. Sarjono (Indonesia), Encik Zainal Bin Palit (Malaysia), dan Mohd. Noor Sham (Brunei). Mereka menekankan bahwa menulis puisi bukan sekadar aktivitas individual, melainkan ruang kebersamaan dan ikatan batin antarsastrawan.
Sastrawan senior Sutardji Calzoum Bachri turut memberi pencerahan. Ia menegaskan puisi mampu lahir dari hal-hal sederhana dan memberi makna bagi dunia. “Puisi adalah bentuk sedekah. Ia menyentuh hati tanpa jalan kekerasan,” pesannya.
Bagi peserta, forum ini menjadi pengalaman berharga. Titan Sadewo, penyair asal Sumatra Utara, mengaku bangga bisa bertemu langsung dengan tokoh-tokoh yang sebelumnya hanya ia kenal lewat buku dan media. Bahkan, Titan sempat berkolaborasi mengiringi Sutardji dengan beatbox di panggung terbuka W.S. Rendra.
Program ditutup oleh Dora Amalia, Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra. Ia sekaligus melantik Organisasi Alumni Mastera Tingkat Serantau dan Opera Indonesia. “Kami berharap alumni dapat menyebarluaskan manfaat program ini di masing-masing negara dan daerahnya,” katanya.
Lebih dari sekadar forum menulis, Mastera 2025 menjadi ruang diplomasi pengetahuan dan budaya. Dari Jakarta, semangat kolaborasi sastra Asia Tenggara kembali diteguhkan—bahwa bahasa dan puisi mampu menjadi pilar kebudayaan di tengah tantangan global.(rls)
What's Your Reaction?






