Jungkir Balik Pers, Saat Pemodal Makin Kuat dan Wartawan Melemah
Bisnis media yang terbilang "menggiurkan" memicu lahirnya perusahaan-perusahaan penerbitan pers. Bahkan, melibatkan pemodal-pemodal besar. Orang-orang berduit tanah air membuat media sendiri. Termasuk membeli media-media yang sudah ada sebelumnya.
Kalau ada yang bertanya buku mana yang cocok dijadikan rujukan untuk mengetahui kondisi pers dan media massa terkini, maka karya Nasihin Masha inilah salah satunya. Terlebih, buku ini terbit terbilang baru. Cetakan pertamanya tercatat pada September 2020.
Nasihin Masha, wartawan senior yang juga pernah menjadi Pemimpin Redaksi Republika memiliki mata yang tajam dalam melihat pergumulan pers di era internet saat ini. Buku ini juga menjadi bukti betapa tajamnya ia menggambarkan bagaimana konglomerasi bisnis media telah mewarnai negeri ini.
Hal ini juga turut mempengaruhi masa depan pers. Apakah tetap berdiri di sisi publik atau justru "berselingkuh" atas nama kepentingan bisnis dan keberlangsungan media tempat ia berada.
Di bab pendahuluan, penulis secara terbuka menceritakan kondisi pers di era post truth. Reformasi yang membuka gerbang kebebasan bagi bangsa ini, termasuk pers menggelorakan semangat keterbukaan. Nasihin menyebutnya sebagai booming media.
Bisnis media yang terbilang "menggiurkan" memicu lahirnya perusahaan-perusahaan penerbitan pers. Bahkan, melibatkan pemodal-pemodal besar. Orang-orang berduit tanah air membuat media sendiri. Termasuk membeli media-media yang sudah ada sebelumnya.
Namun, Nasihin melihat, yang paling terasa dari kehidupan pers di era reformasi ini adalah semakin kuatnya pemodal dan semakin lemahnya wartawan. Lebih blak-blakan lagi, dia menuliskan bahwa independensi newsroom kian mudah ditembus, bahkan dikooptasi.
Mungkin kondisi ini pula yang membuat kita sebagai awam kerap melihat ada media yang enggan atau justru membela pemodalnya jika terjerat kasus hukum. Kemudian seperti "tak malu" menjadikannya sebagai berita yang jelas diragukan independensinya.
Munculnya media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, serta yang lebih privat seperti Whatsapp, Line dan Telegram turut mempengaruhi masa depan pers. Saat ini, bahkan pers bisa dikatakan sudah terdisrupsi oleh media sosial.
Dan tak kalah pentingnya, Nasihin juga mengulas terkait kondisi media pers di masa pandemi Covid-19. Krisis ekonomi yang disebabkan pandemi kali ini juga memukul keberlangsungan pers. Nasihin memberi contoh beberapa media yang terdampak besar yang mengakibatkan perusahaan media harus terlambat membayar gaji bahkan merumahkan karyawannya.
Satu lagi yang menarik dari buku ini adalah Nasihin menceritakan pengalamannya melakukan perjalanan atas undangan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat untuk mengikuti program international visitor leadership bidang media cetak. Dia melaporkan bagaimana kondisi media massa di negeri paman Sam itu.
Buku Jungkir Balik Pers juga berisi catatan-catatan lama Nasihin terkait perkembangan koran Republika yang sampai saat ini masih eksis. Kalau ingin tahu terkait capaian yang pernah dilakukan Republika, buku ini sekali lagi bisa dijadikan rujukan.
Segala pujian bisa dituliskan untuk buku ini. Namun, kondisi pers tanah air akan terus mengalami perubahan. Relevansi buku Jungkir Balik Pers dengan kondisi yang ada saat Anda membaca artikel ini akan terlihat ketika pasang surut media tanah air Anda ikuti waktu ke waktu. (wil)
What's Your Reaction?